Polemik masalah taksi di kota Bandung masih terjadi, kendati tensinya cenderung menurun. Beberapa waktu lalu entah kenapa saya jadi tertarik untuk mencoba beberapa armada taksi yang ada di kota Bandung. "Untuk tahap awal saya mencoba menghubungi no telp salah satu taksi yang tengah naik daun. Seorang wanita yang menerima telpon saat itu menginformasikan kepada saya untuk menunggu, "Tunggu 15 menit, ya pak," katanya. Namun nyatanya hingga menit ke 27, taksi yang ditunggu belum juga "nongol" didepan rumah saya, baru sekitar menit ke 35 mobil yang ditunggu datang.
Konon taksi ini merupakan yang terbaik dan ternanyardi Bandung saat ini, namun baru membuka pintu lalu duduk saya sudah kurang nyaman dengan kondisinya ; supir agak jutek, AC tidak dinyalakan, ditambah lagi tarif yang digunakan adalah tarif maksimal. Dari Hegarmanah hingga Kiaracondong saya mesti merogoh kocek sebesar 30 ribu rupiah. "Seusai itu saya pikir mungkin hanya kebetulan saja dapat supir taksi yang kurang enak, namun ini jadi satu catatan bahwa standar supir taksi di perusaan tersebut butuh peningkatan lagi. Kesimpulan itu saya ambil, karena sebelum-sebelumnya saya belum pernah dikecewakan oleh taksi berwarna biru langit ini.
Masih penasaran, di hari itu juga saya kembali ingin mencoba taksi. Kali ini saya pilih armada yang sebelumnya kerap menjadi pilihan masyarakat Bandung sebelum kedatangan armada asal Betawi. Baru buka pintu saya sudah disambut ramah sang pengemudi, "Selamat malam , pak," ujarnya. Di tengah perjalanan bahkan dia mengusulkan jalan-jalan alternatif untuk menghindari kemacetan, dan pilihan dia saya nilai memang tepat. Selain saya dibuat nyaman karena AC-nya on, tarif taksi ini pun masih memakai tarif lama. Dari Jonas hingga hegarmanah atas, saya hanya membayar 13 ribu.
Berbeda dengan armada taksi milik salah satu koperasi di kota Bandung. Saat mencobanya beberapa hari lalu saya benar-benar kecewa. Sudah supirnya tidak ramah, AC tidak jalan, sesampainya di tujuan malah minta tambahan ongkos lagi dari tarif yang tertera di argo. Alasannya karena masuk jalan kecil, katanya. Sungguh alasan yang mengada-ngada.
Yaa, kompetisi taksi di kota Bandung saya pikir kini hanya layak dialamatkan untuk dua armada taksi. Kunci untuk leading bagi mereka adalah Customer satisfaction. Selain kendaraan harus bagus, AC juga mesti berfungsi. Selain harus menggunakan argo yang telah ditera dan tarif sesuai peraturan, keramahan pengemudi juga menjadi kuncinya. Satu lagi adalah para pengemudi harus ngotot menggunakan argo, kendati penumpang ingin borongan. Memang sulit, sih, tapi inilah yang seharusnya.
Sementara bagi armada taksi lain yang enggan merubah diri, enggan menggunakan argo dan kalaupun menggunakannya dengan argo kuda dan cuek bila penumpang kepanasan, saya pikir mereka harus siap-siap semakin tersisih dari kompetisi. Saya jadi ingat penelusuran Tisna Senjaya beberapa waktu lalu di STV dalam acara Kabayan Nyintreuk yang mengangkat tema yang sama. Di sana Tisna mengatakan ketakutannya bia harus naik taksi di kota Bandung."Saya tuh suka ngadegdeg (gusar) kalau naik taksi, sebentar-sebentar melihat argo, takut kecepetan," katanya.
Ok, semoga terus ada perbaikan dengan kondisi kendaraan publik di kota ini, supaya masyarakat pun mau beralih ke public transportation. Kesuksesan busway di Jakarta mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi bagi para Planolog ataupun ahli sipil transportasi kota kembang ini.
Picture Courtesy of Pikiran Rakyat
Labels: automotive
0 Responses to “Kompetisi Taksi Kota Bandung”
Leave a Reply