Menyusuri Detik Kehidupan Bersama Indra KH



Hendarso, Legenda Hidup Calung Sunda

0 comments


Photobucket - Video and Image Hosting


”Untuk sekelas musik etnis kiprah Darso memang fenomenal. Tengok saja berbagai lagu calungnya yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Hingga kini pun gaya dan ciri khas nyanyiannya banyak ditiru dan menjadi acuan grup-grup calung yang ada di Jawa Barat”



Sebenarnya saya tergerak membuat tulisan ini seusai membaca postingan rekan saya, Rois yang membahas sedikit tentang Darso.

***
Rabu siang dua pekan lalu, cuaca di sekitar Ujung Berung, Bandung terasa panas sekali, maklum sinar matahari saat itu memang sedang teriknya. Namun demikian kondisi ini tidak menyurutkan para tamu yang berdatangan ke sebuah acara resepsi pernikahan rekan saya. Para tamu undangan tampak sibuk memilih berbagai menu yang disajikan berbagai stand yang ada. Mereka seakan tidak peduli dengan pertunjukan di panggung yang diadakan empunya hajat.

Situasi mendadak berubah setelah Kang Ega robot yang bertindak sebagai MC menyebutkan nama seseorang yang akan naik panggung. “…….Kang Darso…..!!” katanya.

Sebagian besar tamu undangan yang sebelumnya cuek dengan kejadian di panggung tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Sebagian dari mereka bahkan ada yang merangsek mendekat ke arah panggung karena penasaran ingin melihat sang penyanyi.

Tak lama kemudian seorang pria paruh baya berambut panjang dengan dandanan nyentrik tampil ke atas panggung. Berbalut baju putih yang dihiasi tambalan beraneka warna, lelaki yang sepintas agak mirip penyair asal Ciamis Godi Suwarna ini pun mulai menyapa penonton dengan gaya khasnya yang garihal dan kocak.

***
Ya, diantara Anda mungkin ada yang belum familiar mendengar nama Hendarso. Pria yang mulai berkiprah di dunia musik sejak tahun 1960-an ini memang hanya selebritis lokal. Namun demikian lelaki yang biasa dipanggil Darso ini jasanya tidak bisa dianggap enteng dalam menjaga kelestarian seni sunda, khususnya seni calung.

Mungkin tidak banyak yang tahu kalau Darso mulai meniti karir dari grup band, bukan dari musik etnis. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca sebuah artikel wawancara di HU Pikiran Rakyat yang memuat hal ini. Pada era 60-an, bersama grup Band Nada Karya, Darso kerap mengiringi penyanyi top jaman itu, seperti Lilis Suryani, dan Tety Kadi. Sayang kiprahnya di dunia musik Indonesia mesti terhenti akibat tidak stabilnya kondisi tanah air pasca G30S/ PKI.

Setelah masa itu, Darso muda bersama teman-temannya kemudian iseng bermain calung. Konon kabarnya kala itu sebenarnya Darso tidak menyukai jenis kesenian sunda yang satu ini. Namun justru dari keisengannya inilah calung menjadi sumber pendapatan baru dan jalan hidup bagi Darso. Atas jasa RRI Bandung, nama grup calung Darso Putra semakin dikenal masyarakat Jawa Barat. Apalagi pada saat itu RRI merupakan primadona hiburan masyarakat.

Berbagai lagu yang diiringi musik calung sempat menjadi hits. Salah satu lagu calung klasik yang dibawakan Darso yang hingga kini masih saya suka adalah lagu berjudul ”Kembang Tanjung.”

Memang kesuksesan penyanyi ini tidak terlepas dari bantuan Uko Hendarto sebagai pencipta lagu, yang tak lain adalah kakak kandungnya. Namun untuk sekelas musik daerah kiprah Darso memang fenomenal. Tengok saja berbagai lagu calungnya yang bisa bertahan hingga puluhan tahun. Hingga kini pun gaya dan ciri khas nyanyiannya banyak ditiru dan menjadi acuan grup-grup calung yang ada di Jawa Barat.

Baru di era 90-an Hendarso mulai masuk ke jalur musik pop sunda. Bahkan bisa dibilang dialah pelopor penyanyi pop sunda saat itu. Penampilannya memang sempat juga mengundang kontra dari para seniman klasik musik sunda karena dinilai melanggar pakem, namun Hendarso tetap melaju. Lagu Sarboah, Cucu deui, dan Maripi adalah contoh lagu yang sempat menjadi hits di kalangan penikmat musik pop sunda kala itu.

Darso adalah penyanyi sunda yang memiliki bakat alam. Hal ini pernah diungkapkan kritikus film Eddy D Iskandar dalam sebuah artikelnya. Menurutnya lagu-lagu Darso banyak yang diciptakan secara spontan di studio rekaman. Semua itu merupakan ciri khas kekuatan penyanyi alami yang lagu-lagunya telah puluhan tahun menyatu dengan khalayak.

Tak hanya lagu bertema cinta yang dia bawakan, penyanyi yang pernah tinggal di Karasak ini pun sempat menelurkan lagu relijius berjudul ”Amparan Sajadah.” Lagu ini bahkan kini dirilis ulang dalam bentuk baru oleh penyanyi rap Ebieth Bieth A.

Beberapa lagu lain yang pernah saya dengar, diantaranya ; Nostalgia Cinta, Duriat, Tanjakan Burangrang, Mega Sutra Pantai Carita, dan Tanjung Baru.

Darso memang nyeleneh. Gaya bahasa yang dilontarkannya cenderung kasar. Namun kendati begitu sumbangan Darso terhadap seni sunda khususnya calung sangat banyak dan harus dihargai. Ia adalah legenda hidup calung sunda.

Patut disayangkan belum banyak yang menghargai kiprahnya selama puluhan tahun ini. Tercatat baru Sekolah Tinggi Musik Bandung yang pernah menganugerahkan penghargaan Jabar Music Award 2005 kepadanya.

Semoga Darso tetap bisa berkarya kendati usianya sudah tidak muda lagi. Wilujeng, kang !!

* Picture Courtessy of Roisz.

Labels:


Televisi Saya Rusak (Lagi)

0 comments

"Untuk televisi yang kedua ini sebenarnya masalah awalnya sama persis dengan yang pertama, yakni kerap berpindah-pindah frekuensi. Sebelumnya memang tidak bermasalah, namun Televisi merk JVC ini entah mengapa mengikuti jejak televisi yang pertama. Suara dari tayangan televisi memang tetap keluar namun gambarnya amburadul"


Seperti hari-hari sebelumnya, pada hari Kamis (25/1) pagi saya berniat untuk menonton news di televisi. Namun ketika televisi saya nyalakan betapa kagetnya karena yang tampil di layar hanyalah gambar yang tidak jelas. Gambar tayangan acara televisi hanya tampak sebagian kecil saja dan berwarna kombinasi merah tua dan coklat. Televisi saya rusak lagi !!

“Waduuhh,……ini kejadian yang keduakalinya,” keluh saya dalam hati. Yaa, ini adalah televisi kedua yang rusak dalam kurun 1,5 tahun. Padahal keduanya baru. Sekitar 8 bulan lalu televisi merk Sharp di rumah mengalami masalah kerap berpindah-pindah frekuensi. Jika kita baru menyalakannya jangan berharap sebuah channel bisa kita tonton secara utuh. Pasalnya ia akan terus berpindah-pindah frekuensi. Setelah lama barulah televisi yang satu ini bisa tetap pada salurannya, walaupun berpindah lagi namun intensitasnya tidak sesering saat kita baru menyalakannya.

Akhirnya karena kesal dengan kondisi televisi seperti itu, keluarga kami pun sepakat untuk memperbaikinya. Beruntung ada kerabat yang bisa menangani hal ini. Kini televisi Sharp ini tidak tetap dibiarkan disimpan di rumahnya. Usut punya usut ternyata menurut pengakuannya ia tidak memperbaiki sedikit pun. Dia hanya membersihkan debu-debu di bagian dalamnya saja. Hingga kini televisi yang itu tetap ”sehat” dan berfungsi sebagaimana mestinya.

Untuk televisi yang kedua ini sebenarnya masalah awalnya sama persis dengan yang pertama, yakni kerap berpindah-pindah frekuensi. Sebelumnya memang tidak bermasalah, namun Televisi merk JVC ini entah mengapa mengikuti jejak televisi yang pertama. Suara dari tayangan televisi memang tetap keluar namun gambarnya amburadul.

Hingga kini saya masih belum tahu penyebab kenapa keduanya bisa menghadapi masalah yang sama. Apakah pengaruh booster ? Atau kondisi geografis tempat tinggal saya yang memang berada di lembah daerah Bandung Utara ? Entahlah. Yang pasti kini saya akan ketinggalan headline news yang biasanya saya dapat dari berita pagi di televisi. Saya juga akan kehilangan kesempatan menonton sepakbola liga Inggris di akhir pekan.

Ughh, apakah harus membeli televisi yang baru ? Non budgeter dong !! Belum lagi kalau ternyata kondisinya akan bernasib sama dengan pendahulunya, bisa berabe kalau begitu. Apakah diantara Anda ada yang mengalami pengalaman yang sama ?

Labels:


Bandung Adopsi Aturan Menyalakan Lampu Motor di Siang Hari

0 comments

Memang aturan ini dinilai memboroskan aki dan lampu. Bahkan bukan tidak mungkin para penjual asongan yang biasa hanya menjual rokok, permen atau air mineral nanti menyediakan juga lampu sepeda motor, hehehe lucu juga


Hari Jum’at (19/1) Adjie Kunto datang ke kantor saya untuk sebuah pekerjaan desain. Saat dia mau pulang dengan supra fit-nya saya tengok headlamp sepeda motornya menyala, “Kok lampu gedenya dinyalain, ini kan masih sore ?” Tanya saya. “Nggak tahu tuh, soalnya di jalan tadi banyak polisi nyuruh kita yang pake motor buat nyalain lampunya,” ujarnya.

Usut punya usut ternyata Polda Jabar telah mengikuti langkah Polda Metro Jaya untuk mewajibakan pengendara sepeda motor agar selalu menyalakan lampu utama, termasuk di siang hari.

Sejak hari Sabtu (20/1) aturan ini sudah mulai disosialisasikan. Billboard milik pabrik sepeda motor yang dipasang di beberapa lokasi strategis pun kini ada yang berisi himbauan untuk menyalakan lampu di siang hari. Para petugas Polantas yang biasa mengatur lalu lintas di setiap perempatan kota Bandung juga kerap memberi isyarat tangan untuk meminta para pengendara motor menyalakan lampunya.

Pada hari Minggu (21/1) dan Senin (22/1) saya lihat sudah semakin banyak para pengendara sepeda motor di kota kembang yang menyalakan lampunya. Unik juga melihatnya. Pemandangan seperti itu jadi mirip kampanye partai politik saat menjelang pemilu. Atau jika pawai bobotoh Persib Bandung saat akan menuju stadion atau sekembalinya mereka menonton.

Kendati demikian saya menyambut baik aturan ini. Menurut saya dengan menyalakan lampu di siang hari akan menguntungkan seluruh pemakai jalan. Bagi para pengendara baik mobil ataupun motor kini saat akan menyalip kendaraan di depannya akan lebih berhati-hati karena bisa jelas melihat lewat kaca spion apakah ada kendaraan di sebelah kanannya yang akan menyalip juga atau tidak. Orang yang akan menyebrang jalan pun akan lebih waspada.

Bila dibandingkan kota Surabaya memang Bandung ketinggalan. Di kota Pahlawan ini aturan seperti itu sudah lama diberlakukan. Menurut rekan saya Ivan Suci, di Surabaya kewajiban tersebut dikenal dengan istilah safety rider.

Memang aturan ini dinilai memboroskan aki dan lampu. Bahkan bukan tidak mungkin para penjual asongan yang biasa hanya menjual rokok, permen atau air mineral nanti menyediakan juga lampu sepeda motor, hehehe lucu juga.

Namun yang penting kewajiban menyalakan sepeda motor di siang hari saya nilai sangat baik dan saya mendukungnya. Semoga saja langkah ini bener-benar efektif dalam mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.

Labels:


Mencari Kedai Sate Yang Enak

2 comments

Siapa yang tidak suka sate ? Saya pikir mayoritas kita adalah penikmat sate, baik sate ayam, kambing, sapi, ataupun sate kelinci. Kedai sate ataupun penjual sate keliling sangat mudah kita jumpai. Berbagai food court di pusat perbelanjaan pun kini rata-rata sudah dilengkapi dengan stand sate.

Untuk mencari lokasi penjual sate yang enak memang gampang-gampang susah. Kita harus rajin menggali informasi dari kerabat dan rekan-rekan, atau mencarinya di media massa.

Berbagai kedai sate pernah saya kunjungi, kendati mungkin jumlahnya belum sebanyak Anda. Untuk Kota Bandung, Jakarta dan sekitarnya ada beberapa lokasi yang layak Anda pilih.

Untuk sate sapi, sate maranggi yang berada di Purwakarta, Bandung maupun Jakarta menurut saya masih yang terlezat dari beberapa kedai sate yang ada. Pilihan berikutnya adalah kedai sate H Mas’ud di Jl. Ir H Djuanda, Bandung ( dekat Sekolah Darul Hikam).

Dibanding sate sapi maupun sate kambing, sate ayam adalah yang paling banyak dijual. Namun tetap saja mencari penjual sate yang enak tidak mudah. Sate Jl. Anggrek menurut saya masih yang teruenak di kota Bandung. Urutan selanjutnya adalah sate madura Jl Suryani, Bandung – dekat Andir. Untuk kota Jakarta, sate ayam Joglo – kebun jeruk layak masuk perhitungan.

Photobucket - Video and Image Hosting


Menunggu sate kambing di warung sate tegal H Chasmadi. Dari kiri ke kanan, searah jarum jam ; Mas Budi, Pak BR , Roisz, Yan, Indra.

Untuk sate kambing lumayan banyak nominasinya. Bila berkunjung ke kota Bandung Anda boleh mencoba sate banyumas, di Jl. Ir H. Djuanda – Simpang Dago, sate Kardjan di pasirkaliki, ataupun Le Mans di Jl. Buah Batu. Satu lokasi yang sayang untuk dilewatkan adalah sate H Hadhori di Stasiun KA Bandung. Sate kambing di sini menurut saya masih yang nomor satu di kota kembang.

Untuk wilayah Jakarta Anda jangan sampai ketinggalan untuk mencicipi sate H Saleh Kumis di Jl. Blora. Khusus lokasi ini saya pernah membahasnya juga pada tulisan beberapa bulan lalu, yakni tentang sop kaki kambing H Saleh Kumis. Yang lainnya adalah warung sate tegal H Chasmadi di Jl. Kuningan Barat – dekat gedung Cyber. Saya kira dari berbagai sate kambing yang ada, sate tegal H Chasmadi inilah jawaranya. Rasa daging kambing mudanya yang manis dan empuk, dicampur bumbu kecap ataupun bumbu kacang akan membuat lahap makan anda. Tidak usah memesan banyak-banyak, saya sarankan Anda cukup memesan lima tusuk sate plus sop kambing, dan teh poci untuk minumnya, saya jamin pasti akan ketagihan makan di sana. Harganya pun relatif murah. Untuk makan bertiga dengan menu seperti tadi, Anda cukup merogoh kocek 50 ribu rupiah.

Terakhir adalah sate kelinci. Mungkin tidak banyak yang menjual sate jenis ini, dan tidak banyak orang yang doyan. Namun jika penasaran ingin mencoba sate kelinci, Anda dapat mencarinya di sepanjang Jl. Raya Bandung – Lembang. Di kawasan ini banyak sekali warung-warung penjual sate kelinci. Namun dari semua tempat yang ada, sate kelinci Pak Sapri menurut saya merupakan yang terenak. Rasa daging kelincinya empuk dan tidak anyir. Jika Anda datang ke Bandung sara sarnkan Anda jangan melewatkan untuk mencoba sate kelinci Pak Sapri.

***
Mungkin tulisan ini hanya membahas beberapa lokasi saja. Boleh jadi anda memiliki referensi lain yang lebih mumpuni. Anda punya info lokasi penjual sate lain yang lebih enak ?

Labels:


Hidup di Gedung Tinggi

3 comments

..Saya merasa lebih kerasan tinggal di pemukiman biasa, yang kental dengan persaudaraannya. Saya lebih membutuhkan tetangga yang siap membantu ketika kita kesulitan. Saya lebih merindukan sapaan ramah orang-orang yang melewati rumah kita...


Kian minimnya lahan kosong untuk perumahan membuat pengembang pemukiman kini melebarkan lahannya secara vertikal. Di kota-kota besar bangunan apartemen mulai bermunculan. Para pengelolanya menawarkan berbagai fasilitas menggiurkan dengan beraneka konsep pembayaran. Dulu saya sering bertanya-tanya ”Apa sih bedanya tinggal di apartemen dibandingkan pemukiman biasa”? Apa enaknya dan apa nggak enaknya ? Dan kini saya sudah menemukan jawabannya.

Sekira tiga bulan lalu, sebuah kamar apartemen di kawasan Slipi, Jakarta menjadi tempat singgah atau menginap bagi saya dan rekan-rekan jika ada perjalanan dinas di sana.


Photobucket - Video and Image Hosting


Dari sisi keamanan, secara sepintas apartemen mengaplikasikan tingkat keamanan lebih dibanding perumahan biasa. Diantaranya, penjagaan satpam di pintu masuk dan lokasi strategis, CCTV yang bisa dimonitor penghuni via televisi, dan akses lift dengan RFID. Memang bila dibandingkan dengan perumahan-perumahan atau cluster elit, konsep ini tidak terlalu jauh berbeda.

Dari sisi fasilitas, apartemen juga menawarkan konsep one stop service. Adanya akses internet, tv kabel, minimarket, cafe dan restoran, laundry, kolam renang dan pusat kebugaran didesain pengelola apartemen untuk memudahkan penghuni agar mereka tidak perlu keluar area untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep seperti ini pun saya pikir tidak berbeda jauh dengan yang telah diaplikasikan kota-kota baru atau kota satelit di pinggiran kota besar, seperti BSD, Lippo Karawaci, atau Kota Baru Parahyangan.

Hidup di apartemen memang mengasyikan, namun entah mengapa saya merasa ada yang hilang dari kehidupan seperti itu, yakni kekeluargaan dan kehidupan sosial. Kehidupan di gedung tinggi menurut pengamatan saya cenderung individualistik elitis. Bertemu dengan tetangga sebelah kamar pun mereka enggan menyapa. Menggunakan space parkir orang lain tidak pernah merasa bersalah, cuek saja. Ketika kepergok si empunya juga jangankan hadir kata maaf dari lisannya, sapaan sedikit saja tidak keluar dari mulutnya.

Saya merasa lebih kerasan tinggal di pemukiman biasa, yang kental dengan persaudaraannya. Saya lebih membutuhkan tetangga yang siap membantu ketika kita kesulitan. Saya lebih merindukan sapaan ramah orang-orang yang melewati rumah kita. Saya merasa lebih nyaman melihat pemandangan pekarangan rumah yang hijau diisi tanaman dan apotek hidup ketimbang pemandangan jalanan ibukota yang sarat kemacetan dari balik jendela apartemen.

Di apartemen tidak ada lagi pedagang keliling yang menjajakan dagangannya. Di apartemen saya tidak menyaksikan ibu-ibu rumah tangga maupun para pembantu mengerumuni tukang sayur untuk bahan memasak di hari itu. Di apartemen juga saya tidak menyaksikan pertandingan sepakbola, tenis meja atau bola voli antar kampung. Di apartemen juga saya tidak melihat lalu-lalang anak-anak kecil yang asyik bermain petak umpet dan saling kejar-kejaran. Dia apartemen juga saya tidak melihat rombongan orang maupun bocah-bocah yang bergegas menuju masjid atau pun surau untuk shalat berjamaah seusai adzan berkumandang.

***
Puihhh, lelah juga membanding-bandingkan hal seperti ini. Hidup di gedung tinggi (apartemen) ternyata ada enaknya dan juga ada tidak enaknya. Kalau Anda lebih kerasan tinggal di mana ?

Labels:


Musim Undangan Telah Tiba

2 comments

Satu hal yang kian memperparah kemacetan adalah banyaknya lokasi undangan yang menggunakan sebagian badan jalan untuk tempat kursi tamu undangan dan panggung hiburan dangdut maupun kesenian daerah


Bulan Januari 2007 tampaknya tak hanya identik dengan musim hujan dan musim bencana, namun juga musim undangan, baik itu undangan pernikahan maupun khitanan. Pada hari Sabtu (6/1) dan Minggu (7/1) kemarin misalnya, saya harus menghadiri sedikitnya 4 undangan, yang terdiri dari 3 undangan pernikahan dan 1 undangan syukuran khitanan.

Penilaian saya semakin menguat karena selama perjalanan menuju lokasi undangan–undangan tersebut saya menyaksikan banyak masyarakat yang menggunakan batik dan pakaian adat.

Janur kuning pun begitu marak dipasang di muka gang atau jalan maupun pintu masuk gedung-gedung yang kerap digunakan sebagai tempat resepsi. Di sepanjang Jl. Rajawali Barat yang sempat dilewati, saya iseng-iseng menghitung janur yang dipasang. Hasilnya ada 8 janur.

Salah seorang kerabat saya yang sempat melewati ruas Cibiru hingga Setiabudhi pada hari yang sama menuturkan hal serupa.”Awalnya anak saya menghitung ada 10 janur, namun saking banyaknya jadi malas menghitung, mungkin ada sekitar 30 undangan” katanya.

Waah, banyak juga yaa !! Jadi ada berapa undangan di kota Bandung saat itu ?? Pantas saja akhir pekan kemarin Bandung terasa lebih macet. Mungkin kali ini bukan hanya akibat kunjungan warga Jakarta yang berburu pakaian di factory outlet saja, namun juga akibat warga Bandung sendiri yang tumplek blek menghadiri berbagai hajatan yang digelar.

Satu hal yang kian memperparah kemacetan adalah banyaknya lokasi undangan yang menggunakan sebagian badan jalan untuk tempat kursi tamu undangan dan panggung hiburan dangdut maupun kesenian daerah. Akibatnya lebar jalan yang digunakan para pengendara menjadi sempit.

Pekan depan, 2 undangan dipastikan sudah menanti. Sepertinya keluarga saya bulan ini harus menyiapkan anggaran non budgeter lebih banyak:-D. Apakah anda juga seperti itu ??

Labels:


    Image hosting by Photobucket
    • Indra KH
    • Content Dev, IT Documentation
    • Bandoeng, Jawa Barat, Indonesia
    • My Profile!
    • Chat with Indra KH

RECENT POST

ARCHIVES

BLOGROLL

LINKS

BREAKFAST

Google



blog-indonesia

Indonesian Muslim 

Blogger

karyacipta





dukung persib



Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x